Jurnal
Ilmiah Domestic Case Study
Disiapkan
Sebagai Standard Kualifikasi
SEBAGAI DAYA TARIK WISATA YOGYAKARTA

Disusun
Oleh :
Nama : Susanti
NIM : 2141392965
Jurusan : Perhotelan
Jenjang : D-3
SEKOLAH
TINGGI PARIWISATA AMBARRUKMO (STIPRAM)
YOGYAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyusun dan menyelesaikan jurnal
Domestic Case Study ini.
Jurnal ini disusun sebagai syarat
untuk melengkapi nilai Jurnal Ilmiah Akademik. Penulis menyadari laporan ini
tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan serta bimbingan pihak lain. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
- Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya.
- Bapak Suhendroyono, SH.,MM.,M.Par selaku Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta.
3.
Ibu Dra damiasih,MM,M.Par selaku dosen yang telah memberikan
banyak arahan untuk menyusun jurnal ini kepada penulis.
4.
Orang tua Ayah Ibu tercinta penulis yang telah memberikan
dukungan baik secara moril dan materi kepada penulis untuk selalu bersemangat
pada saat menyusun jurnal ini.
5.
Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
pembuatan jurnal ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam jurnal ini.
Oleh karena itu, kritik
dan
saran dari pembaca sangat diharapkan. Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Yogyakarta, 22 Juni 2015
Penulis,
Susanti
Jurnal Ilmiah Domestic
Case Study
Disiapkan Sebagai Standard Kualifikasi
Lembar Persetujuan
ARSITEKTUR KRATON YOGYAKARTA
SEBAGAI DAYA TARIK WISATA
YOGYAKARTA
Oleh :
Susanti
2141392965
Program Study D-3 Perhotelan
Yogyakarta, ........................
Telah disetujui dan diterima oleh :
Dosen pembimbing
Dra. Damiasih,MM.,M.Par
NIDN: 0504086902
Jurnal
Ilmiah Domestic Case Study
Disiapkan
sebagai standard Kualifikasi
ARSITEKTUR KERATON YOGYAKARTA
SEBAGAI DAYA TARIK WISATA
YOGYAKARTA
Disusun
Oleh:
Susanti
2141392965
ABSTRACT
Sultan
Palace is the official palace of the empire Ngayogyakarta are now located in
the city of Yogyakarta, Indonesia Yogyakarta Special Region. Yogyakarta Palace
is not only the residence of the king, but also a flame guard Javanese culture.
In these places tourists can learn and
see firsthand how the Yogyakarta palace architecture also culture remains
preserved in the middle of the pace of development of the world. In terms of
the building, this palace is one example of Javanese palace architecture of the
palace is best.
Keywords : Yogyakarta, Culture,
Architecture, Palace, Javanese
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia merupakan Negara yang
memiliki potensi wisata yang sangat banyak. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan begitu banyaknya tempat-tempat yang sangat menarik dan indah sebagai
objek wisata di Indonesia. Wilayah indonesia mulai dari ujung barat pulau
Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam hingga ujung timur kota Merauke,
Provinsi Irian Jaya atau Papua. Bentangan pulau-pulau tersebut terdapat ratusan
bahkan ribuan objek wisata, baik alam, budaya, dan minat khusus.
Dalam pengembangan pariwisata sebagai
suatu industri kegiatan perjalanan manusia,tentunya banyak aspek yang perlu
dipertimbangkan, karena pariwisata tidak berdiri sendiri. Saat ini pengembangan
pariwisata di Indonesia dititikberatkan pada setiap daerah, karena daerah yang
memiliki potensi serta objek wisata dan daya tarik wisata (ODTW).
Pariwisata merupakan fenomena
kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok manusia ke
suatu tempat untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dimana perjalanan yang
dilakukan tidak untuk untuk mencari suatu pekerjaan atau nafkah, selain itu
kegiatan tersebut didukung yang ada di daerah tujuan tersebut yang sesuai
deengan kebutuhan dan keinginan. Pariwisata juga salah satu industri terbesar,
dimana kegiatan pariwisata dapat memberikan atau menyumbangkan devisa terbesar
bagi suatu Negara atau Daerah tujuan pariwisata, selain itu juga meningkatkan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dan pendapatan perekonomian
masyarakat setempat, serta menjaga kelestarian lingkungan sumber daya alam dan
budaya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peluang yang
sangat luas untuk dikembangkan sebagai kawasan industri pariwisata, khususnya
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerukunan hidup penduduk Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan keanekaragaman budaya dan seni dimilikinya, merupakan potensi besar untuk
menjadi salah satu tujuan wisata yang ramah, nyaman dan aman di saat ini dan
tahun tahun yang akan datang, selain itu Yogyakarta terkenal dengan predikat
kota pelajar dan kota budaya, atas alasan itulah Yogyakarta menjadi salah
satu daerah tujuan wisata yang paling
diminati untuk di kunjungi setelah Bali, baik oleh wisatawan domestic maupun
wisatawan mancanegara. Keindahan alam (mulai dari pantai, gunung, gua),
situs-situs bersejarah (candi, keraton, taman sari, benteng), kerajinan (batik,
perak), kesenian dan kebudayaan (wayang kulit, karawitan, jathilan, ketoprak,
grebek, labuhan, sendra tari Ramayana), kuliner (gudeg, bakpia, tiwul) merupakan
beberapa contoh daya tarik yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta, dari
sekian banyak potensi wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta Penulis memilih pada
Arsitektur Keraton Yogyakarta Sebagai Daya Tarik Wisata Yogyakarta.
Adapun maksud dan tujuan dari
penulisan ini agar penulis lebih mengenal dan mengetahui tentang bagaimana
arsitektur yang ada di Keraton Yogyakarta.
Penulis sedang menempuh semester 3
program study D-3 Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo Yogyakarta. Setelah
penulis melakukan Seminar Nasional pariwisata dengan Tema “ Sinkronisasi
Pengembangan Destinasi Pariwisata dan SDM Pariwisata Menyongsong Era Masyarakat
ASEAN (MEA) 2015” yang di adakan di Jogja Expo Center Yogyakarta pada tanggal 13
Oktober 2014, dan di hadiri oleh sejumlah pakar pariwisata yang menjelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan
sector pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta khusunya dalam hal Pengembangan
Objek wisata.
- Lokasi dan Waktu
Dalam Seminar
Nasional yang di adakan di Jogja Expo Center Yogyakarta Indonesia pada tanggal
13 Oktober 2014, penulis mengambil judul
Arsitektur Keraton Yogyakarta Sebagai Daya Tarik Wisata Yogyakarta. Dan penulis
melakukan penelitian ini selama satu hari di Keraton Yogyakarta pada tanggal 19
Juni 2015.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta mulai didirikan
oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton
dahulunya adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan,
yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara
fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan
Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
B. Tata
Ruang dan Arsitektur Umum
- Tata ruang
Dahulu bagian utama istana, dari
utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo
di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan
adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan
Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil
Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks
Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang
disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung
Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton
dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di
utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks
Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan
menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah
yang lain.
Selain
bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian
yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks
Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana
Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di ndalem Mangkubumen). Di
sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari
tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa
bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong
Krapyak, ndalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
- Arsitektur umum
Secara
umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari
pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon
tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup
tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu.
Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap
gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono.
Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan
Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di
beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis,
Belanda,
bahkan Cina.
Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup
dinding dinamakan Gedhong
(gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang
bambu yang disebut Tratag. Pada
perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan
atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun
seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang
utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan,
serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap
atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun
yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna
senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur
Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad,
dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk
batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna
emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks.
Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai
dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki
lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu
persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap
bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan
jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh
Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan
indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka
ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain
ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau
keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
- Kompleks depan
1.
Gladhag-Pangurakan
Gerbang
utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah
Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan yang terletak persis beberapa meter di
sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis.
Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga
atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman
pengasingan/pembuangan.
Versi
lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi,
dan Gapura Pangurakan Lebet. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara
Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini
sudah tidak ada. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang
sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari
utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan
yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya
adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri. Selepas dari Gapura
Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
2. Alun-alun
Lor
Alun-alun
Lor adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu
tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang
cukup tinggi. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur
bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja
yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk
umum.
Di
pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina;
famili Moraceae) dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon
beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua
pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru
dan Kyai Janadaru. Pada zamannya
selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem yang boleh melewati/berjalan di
antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan
arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat
Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Pegawai
/abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah
kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.
Di
sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat
pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan,
tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan.
Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah
lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi
kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada
zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan
upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara
garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng,
dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang
juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar,
tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak
bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
- Mesjid Gedhe Kasultanan
Kompleks
Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta
terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut
dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi.
Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk
berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk
masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam
bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab
(tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura.
Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk
dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi
terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang
hendak masuk masjid.
Di
depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah
utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya)
terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut
masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara
disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten,
Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK)
Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu.
Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya
yang digunakan dalam upacara Jejak Boto pada upacara Sekaten pada tahun
Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai
Pengulu di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah
barat masjid.
- Kompleks inti
- Kompleks Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal
dengan nama Tratag Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para
punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan
untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat
keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah
timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk
menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar
sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan
menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada dia kemudian
juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba. Sekarang digunakan untuk
kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat,
prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam
sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk
melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan
relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX.
Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki
kampus di Bulak Sumur.
- Siti Hinggil Ler
Di
selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti
Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi
kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini
dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik
berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami
deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili
Papilionaceae).
Di
kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal
Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro
sampai sekitar tahun 1926.
Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus.
Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara.
Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar
transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan
barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu
bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya
untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak di
tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka
yang disebut Tratag Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk
di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan
Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember
1949 Ir. Soekarno
dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal
Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang
lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini
digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada
saat acara resmi kerajaan.
Bale Bang yang
terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk
menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga.
Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada
zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.
- Kamandhungan Lor
Di
selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding
selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol
Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di
sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang
ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan pada hari-hari lain selalu
dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks
dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan
barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen
dan Rotowijayan.
Kompleks
Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami
pohon Keben (Barringtonia
asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang
berada di tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini.
Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan
ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi
lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan
keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg
dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk
menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana.
Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat
ini.
- Sri Manganti
Kompleks
Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan
dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat
hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri
Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima
tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka
keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk
penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada
di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi
Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini
menjadi balai pengadilan. Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa
pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh
pada 27 Mei
2006 akibat
gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang
memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah
berdiri lagi di tempatnya.
Di
sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti
berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah
Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman
ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit,
bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.
- Kedhaton
Di sisi
selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan
dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala
yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di
sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat
sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja China.
Kompleks
kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan
dirindangi oleh pohon Sawo kecik
(Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya
dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama
adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian
selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan
para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian
putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya
terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Di
bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang
menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan
berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan.
Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu
digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem
Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu
ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan
Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang
Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di
sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The
Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence)
Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan
tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX.
Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur
ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat
tinggal di Keraton Kilen. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri
satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno.
Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V
dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana
di sebelah selatannya.
Di
selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur.
Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang
tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro.
Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak, Bangsal Mandalasana,
Gedhong Patehan, Gedhong Danartapura], Gedhong Siliran, Gedhong
Sarangbaya, Gedhong Gangsa, dan lain sebagainya. Di tempat ini pula
sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan
tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk
beribadat pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini
merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan
pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum
menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong
Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang
dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran
Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh
Sultan.
- Kamagangan
Di sisi
selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan
kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena
di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang
menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Di sisi selatannya pun
terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang
sama.
Dahulu
kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem
Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem
magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan
sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang
menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng
(dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng
Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis
masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat
daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan
pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat
gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan
Magangan.
Di sisi
selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks
Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan
terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang
menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di
sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan
untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.
- Kamandhungan Kidul
Di
ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah
gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan
kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki
ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks
Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal
ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati
yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat
perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol
Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di
antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang
disebut dengan Pamengkang.
- Siti Hinggil Kidul
Arti
dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil :
tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil
Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti
Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi.
Permukaan
tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di
sekitarnya. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang
disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari.
Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar
pada 1956
menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200
tahun kota Yogyakarta.
Siti
Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para
prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat
menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) dan untuk berlatih
prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi
perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang,
Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum
khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.
- Kompleks belakang
1. Alun-alun
Kidul
Alun-alun
Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta.
Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal
dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut
sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang
keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima
gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing
dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan
sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun
ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae),
pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera
odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang.
Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit
udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari
kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading
yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
2. Plengkung
Nirbaya
Plengkung
Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB
I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton
Ambar Ketawang. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar
untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat
ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
Dari
ulasan diatas bahwa daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh saat Keraton Yogyakarta mulai dibuka sebagai salah
satu objek kunjungan pariwisata di kota Yogyakarta pada masa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 1 Oktober 1969. Hingga beberapa waktu
yang lalu, daya tarik wisata Keraton Yogyakarta berupa atraksi di mana
pengunjung atau wisatawan dapat memasuki bangunan Keraton Yogyakarta dan
menikmati keindahan arsitektur lokalnya.
Seiring
dengan perkembangan jaman, daya tarik wisata KeratonYogyakarta ditinjau dari
segi arsitekturnya banyak wisatawan yang ingin mengunjunginya karena Keraton
Yogyakarta merupakan cerminan arsitektur tradisional Jawa yang tidak ada
bandingannya.
Keraton
Yogyakarta ini terletak di pusat kota Yogyakarta dan dapat dijangkau dengan
mudah oleh taksi, becak, andong, ataupun bus. Sehingga dapat memberi pendapatan
bagi masyarakat sekitarnya. Masyarakat sekitar keraton serta pengurus keraton
Yogyakarta sebagai Sumber Daya Manusianya harus menyiapkan diri dalam menyongsong
era masyarakat ASEAN , dengan peningkatan pelayanan seperti keramah-tamahan,
kesigapan, serta tetap menjaga keaslian keraton Yogyakarta. Untuk menarik para
Wisatawan baik dari domestic maupun mancanegara.
Para
wisatawan dapat menjelajahi istana ini dengan berjalan kaki. Istana ini terbuka
untuk pengunjung pukul 8:30-12:30 kecuali hari Jumat dan Sabtu tutup pukul
11.00 WIB. Keraton tutup pada siang hari.
Di sini wisatawan
dapat berjalan-jalan di sekitar istana dan menelusuri setiap detail kecil di
kompleks kerajaan. Saat wisatawan memasuki istana maka wisatawan akan
menapakkan kaki ke tempat yang sejuk dan tenang, tempat yang jauh dari terlepas
dari panas, keramaian, dan hirup pikuk
dunia luar. Menikmati suasana damai sambil berjalan-jalan di sekitar istana.
Dari
segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana
Jawa Keraton yang terbaik. Maka untuk menyongsong era
masyarakat ASEAN peran masyarakat dan pemerintah untuk tetap merawat
dan menjaga keaslian arsitektur Keraton Yogyakarta sangatlah penting, supaya
tidak ada perubahan-perubahan pada arsitekturnya, agar
tetap menjadi Ikon wisata unggulan Kota Yogyakarta. Sehingga wisatawan melihat
keraton yogyakarta semata-mata bukan karena tempat tinggal raja-raja terdahulu,
melainkan kemegahan arsitektur yang masih terjaga hingga sekarang dan belum ada
perubahan secara keseluruhan. Tetap mempertahankan arsitektur asli Keraton akan
menarik para wisatawan, karena tidak dapat ditemui di tempat lain. Sehingga
dapat menambah devisa Negara.
Disamping
Wisatawan berkunjung atas dasar kekaguman terhadap arsitektur keraton
Yogyakarta yang masih terjaga hingga sekarang, ditunjang gencar-gencarnya
semarak era masyarakat ASEAN di tahun 2015 ini pula, menjadi motivasi
masyarakat sekitar keraton untuk mengembangkan usaha-usaha mereka seperti
sentra makanan tradisonal gudeg,sentra penjualan batik, kaos dagadu yang
menjadi cinderamata wajib jogja, sentra kerajinan, sentra makanan lainnya , dan
pengadaan event-event budaya di sekitar Keraton Yogyakarta seperti tempat
berlangsungnya pentas seni, dan budaya termasuk upacara sekaten, pasar malam,
upacara Grebeg Suro, serta usaha-usaha kecil yang berada di alun-alun utara dan
kidul seperti Alun-alun utara yang juga
menjadi ruang terbuka yang dikelilingi oleh kios-kios cinderamata, lapak
penjual jagung bakar dan wedang ronde selain menjadi tempat parkir bis wisata.
Sedangkan alun-alun kidul menjadi tempat pentas seni budaya dan kegiatan
olahraga bagi masyarakat umum. Dan Alun-alun kidul menjadi ruang terbuka yang
dikelilingi oleh lapak-lapak penjual makanan, lesehan jagung bakar dan wedang
ronde dan dilengkapi sarana permainan anak-anak. Dengan
banyaknya usaha serta event-event yang terselenggara timbal baliknya masyarakat
sekitar Keraton memiliki peluang penghasilan yang lebih.
Dengan
tetap mempertahankan keeksistensiannya Keraton Yogyakarta tersebut, Keraton
Yogyakarta Sebagai peninggalan yang perlu dijaga pula serta dilestarikan
keberadaannya yang merupakan aset bangsa Indonesia, kemudian menganalisis atau
menjelaskan bagian tata ruang dari keraton Yogyakarta yang mempunyai arsitektur
begitu menarik dan mempunyai daya kreatif tersendiri, dan yang terakhir untuk
mengetahui bagian-bagian yang ada di dalam keraton tersebut, karena setiap bagian
memiliki makna dan arti.
Jadi agar kita lebih mengetahui, menjaga
serta melestarikan kebudayaan yang telah ada sebagai bukti bahwa kita ikut
serta berpartisipasi dan berkontribusi dalam hal mengetahui, menjaga dan
melestarikannya , karena apa yang kita miliki akan diakui bahkan diambil orang
lain jika tidak dijaga dengan baik.
Berdasarkan observasi penulis di Keraton Yogyakarta , maka
dapat dilihat bahwa Arsitektur
Keraton Yogyakarta
tetap diminati banyak pengunjung walaupun Keraton ini sudah lama berdiri. Hal ini dapat
dibuktikan melalui media promosi dan sumber daya manusia yang ada di Keraton Yogyakarta yang
berkualitas sehingga Keraton
Yogyakarta tetap hidup dan berkembang.
Dalam
sinkronisasi Pengembangan Destinasi Pariwisata dan SDM Pariwisata Menyongsong
Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Keraton Yogyakarta sudah memenuhi syarat sebagai
tempat wisata dalam era globalisasi. Pengunjung baik domestic maupun mancanegara yang berwisata
pada Keraton Yogyakarta dinyatakan seimbang. Dengan hal tersebut dapat mengembangkan
destinasi wisata Keraton Yogyakarta.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah penulis uraikan, penulis menyimpulkan bahwa Keraton
Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang
kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik
Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi
sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan
tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu
objek wisata di Kota Yogyakarta.
Keraton
Yogyakarta tidak hanya menjadi tempat tinggal raja, namun juga menjadi penjaga
nyala kebudayaan Jawa. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara
langsung bagaimana budaya tetap dilestarikan di tengah laju perkembangan dunia.
Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi
milik kesultanan. Dari segi
bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa
Keraton yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta
paviliun yang luas.
B. Saran
1.
Pemeritaah seharusnya
memberikan dana yang sesuai untuk pengembangan Keraton Yogyakarta.
2.
Pemerintah dan Masyarakat seharusnya
bekerjasama untuk menyusun cara agar Keraton Yogyakarta
dapat go international dengan
mempromosikan bahwa Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan
asli Indonesia. Serta harus lebih serius dan lebih aktif untuk
mengelola dan menjaga eksistensi dengan mempertahankan keaslian Keraton
Yogyakarta.
DAFTAR
PUSTAKA
Observasi Keraton Yogyakarta, 19 Juni
2015 Yogyakarta
Seminar Nasional, Jogja Expo Center (JEC), 13 Oktober 2014,
Yogyakarta
LAMPIRAN
Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene
dan Gedhong Purworetno
Bangsal Sri Manganti tempat pertunjukan tari dan seni
karawitan gamelan di Kraton Yogyakarta.
Salah satu bangunan Tratag dalam kompleks keraton.
Tanah lapang, "Alun-alun Lor", di bagian
utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin Kurung-nya
Pagelaran Keraton Yogyakarta di depan kompleks keraton
menghadap utara ke arah Alun-alun Lor
Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta
Bangsal Kencono, bagunan utama dalam kompleks Keraton
Yogyakarta, di belakangnya terdapat nDalem Ageng Proboyakso.
Ukiran kepala Kala di Bangsal Manis

Foto bersama guide Keraton Yogyakarta

Foto Bersama abdi ndalem Keraton Yogyakarta

Foto Bersama Wisatawan Mancanegara